Rabu, 26 November 2014

Cuplikan Cerita Terbaru

"Seharusnya, orang miskin seperti kita mati saja"
"Sudahlah, tak baik kau bersungut-sungut seperti itu."

Nenek tua meneruskan pekerjaannya.
Satu persatu kue kue kecil yang dia buat pagi tadi dikemas rapi untuk dijual ke pasar, setidaknya ada satu-dua pelanggan yang sudah pasti membeli kuenya.

"Apa tidak bosan berjualan kue terus?" lagi-lagi seorang wanita muda yang tadi bersungut-sungut melayangkan nada ketus.

Nenek tua itu diam, tak mau terlalu larut dalam pembicaraan pagi yang hanya membuat hatinya bak tertusuk ratusan duri.

"Sekali-kali bekerjalah, jangan hanya diam dan mengoceh, agar kau tahu betapa susahnya mencari uang." nenek tua itu kemudian keluar dari gubuknya dengan bakul penuh kue yang digendongnya.

Wanita muda itu menatap sinis kepergian si nenek tua. Rupanya kata terakhir si nenek tua telah membuatnya tersinggung, semakin dia merasa tersinggung semakin keras pula hatinya. Lama dia melihat sinis kearah si nenek tua meski yang terlihat hanya bakul yang digendong, lebih mirip bakul berjalan, mungkin karena termakan usia si nenek tua tak mampu lagi berdiri tegak.

Bakul nenek tua sudah tak terlihat. Wanita itu tak berhenti melihat sinis bahkan tak berkedip. Entah apa yang dia lihat, mungkin dia masih melihat sisa sisa langkah si nenek tua, entah apa yang ada dalam pikirannya, yang jelas dia terlihat sangat marah. Mulutnya terkatup rapat, badannya tegak melihat jalan yang dilewati si nenek tua, suasana hatinya mudah terbaca. Sekali saja alam meniupkan angin dimukanya, air dari pelupuk matanya akan ikut tertiup.

Benar saja. Wanita itu menangis setelah angin pertama menerpa wajahnya. Ternyata jiwanya begitu lemah, tak seperti mulutnya yang berlapis duri. . 

Ada yang bilang wanita tua itu lebih baik dari si nenek tua. .  entah dari sisi mananya,

Hai sahabat,, itu tadi cuplikan cerita terbaru aku,
Sejauh ini sih, belum aku kasih judul. Hahaha. doakan saja semoga cepat kelar dan cepat dimuat ya,, thank You. :*

Minggu, 16 November 2014

Tentang Yang kusebut BINTANG

Mataku memandang.

Bintang,
begitu aku menyebutnya.

Dia suka menulis, sama sepertiku. Hanya saja tulisan-tulisannya bukan cerita harian alay seperti yang ku tulis. Dia menulis sesuatu yang lebih bermanfaat.

Dia tersenyum,
Dia tertawa,
Dia diam,
Dia Lelah,
Dia tidur,
Dia marah,
Dia kecewa,

Dilihat darimanapun ekspresinya sama saja,
Keren.

Bintang,
Berkelip indah.
Indah, seolah dia berkelapkelip di depan mata.

Setengah sadar,
Mataku berkedip.

Bintang, jauh disana.
Takan bisa ku sentuh.